Simeulue, NAD — Hasil investigasi yang dilakukan oleh Pokja Aceh Damai Tanpa Korupsi (Pokja-ADTK) telah menemukan adanya tindak pidana illegal logging dan korupsi sebanyak 5.221,99 M3 kayu bulat sitaan asal Kabupaten Simeulue Provinsi NAD, dalam pengangkutan gelombang I (Mei 2004) dan Gelombang II (September 2004). Kasus Ileegal Logging dan korupsi ini diduga melibatkan 12 orang pelaku diantaranya adalah Gubernur NAD Abdullah Puteh dan Wakil Gubernur NAD Azwar Abu Bakar serta beberapa pejabat di lingkungan Departemen Kehutanan Prov. NAD. Perkiraan nilai kerugian dari dua tindak pidana ini adalah sebesar Rp. 3,5 miliar.
Kasus ini bermula ketika pada bulan Agustus 2003, Pengusaha Darurat Militer Daerah (PDMD) di NAD berhasil menyita sebanyak 18.682,42 M3 kayu bulat hasil ileggal loging di Pulau Simeuleu, sebuah pulau yang terletak di wilayah Barat Aceh (Samudera Hindia). Kayu temuan tersebut kemudian dianggap sebagai “kayu tak bertuan”karena tidak diketahui siapa pemiliknya dan ditumpuk begitu saja di pinggir pantai Pulau Simeuleu.
Pada tanggal 4 Oktober 2003, dalam Surat Gubernur NAD No. 522.21/25853 menyebutkan kayu yang ditemukan di Pulau Simeulue adalah tidak sah, Namun pada 19 Mei 2004, sebanyak 2.221,99 M3 kayu-kayu sitaan tersebut oleh Tim Pemanfaatan Kayu Sitaan yang dibentuk oleh Pemda NAD dipindahkan dari Pulau Simeuleu ke Banda Aceh dan dikirimkan kepada PT. Kuala Batee Indonesia. Kayu-kayu tersebut dinyatakan telah memiliki dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dengan pemilik kayu tersebut adalah PT. Kuala Batee Indonesia. Padahal seperti yang diuraikan sebelumnya sebanyak 2.221,99 M3 tersebut merupakan bagian dari 18.682,42 M3 yang merupakan barang sitaan negara.
Selanjutnya pada bulan Agustus 2004, Pemda NAD melalui Tim Pemanfaatan Kayu Sitaan kembali memindahkan lagi sekitar 3000 M3 kayu bulat dari pulau Simeulue ke Banda Aceh. Dengan demikian diperkirakan ada 5.2221,99 M3 kayu illegal yang pemanfaatanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa kayu sitaan tersebut bisa beralih menjadi milik hak milik perseorangan? Apakah peralihan hak tersebut telah memenuhi ketentuan atau proses hukum yang berlaku?
Hasil investigasi yang dilakukan POKJA ADTK, ditemukan bahwa peralihan hak tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak halal (tidak sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku). Selain melanggar UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan tersebut juga melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, KUHAP, PERPPU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, PP No.34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Selain itu saat ini masih ada 13 ribu M3 kayu illegal yang saat ini masih belum jelas. Selain persoalan korupsi, persolan yang sangat mendasar lainnya adalah meskipun di Pulau Simeulue sudah sekian tahun telah terjadi penjarahan (illegal loging), namun hingga saat ini belum satupun pelaku penjarahan (illegal loging) yang ditangkap dan diselesaikan memelui jalur hukum. Pihak PDMD di Pulau Simeulue pada Agustus 2003 hanya menemukan kayu olahan, kayu bulat dan peralatan lain seperti dump truck atau mesin chinsaw tanpa adanya pelaku kejahatan. Padahal jika pihak PDMD, PEMDA NAD maupun POLDA NAD mau sesungguhnya dapat ditelusuri siapa pemilik kayu-kayu yang disita. Namun anehnya mereka tidak mengejar siapa yang bertanggungjawab terhadap penjarahan kayu (illegal loging) di Pulau Simeulue tersebut. (Akhiruddin)
Sumber: http://antikorupsi.org